Regulasi perpajakan di Indonesia mengatur bahwa badan usaha yang peredaran usahanya sudah melebihi Rp4.8 milyar setahun, wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang atas setiap penjualan barang atau jasanya wajib memungut PPN kepada pelanggan.

Namun, tidak hanya itu, setiap badan usaha memiliki hak untuk mengukuhkan diri menjadi PKP meskipun peredaran usahanya belum mencapai Rp4.8 milyar dalam setahun, sehingga bisa memungut PPN kepada pelanggan.

"Memangnya ada yang omsetnya kecil tapi mau jadi PKP?"

Jawabannya, ada dan banyak. Mengapa?

Karena pemungutan PPN yang dilakukan oleh sebuah perusahaan kepada pelanggannya tidak 100% dibayarkan begitu saja ke kas negara, melainkan bisa di offset dengan PPN yang sudah dibayarkan oleh perusahaan tersebut kepada supplier-suppliernya.

Jadi, ada beberapa kondisi dimana sebuah badan usaha lebih baik mengukuhkan diri menjadi PKP, salah satunya adalah: Memiliki HPP yang pembeliannya terdapat PPN.

Ilustrasinya ada pada tabel di bawah ini, dimana status badan usaha sebagai PKP justru bisa meningkatkan laba bersih dan dapat menjaga arus kas tetap positif.

Sebagai informasi, maksimal penyetoran PPN yang ditarik dari pelanggan kepada kas negara adalah tanggal 15 bulan berikutnya, sehingga minimalnya, perusahaan memiliki "fresh cash" senilai 11% dari omset selama 15 hari.

Dalam beberapa case, tanggal penerbitan faktur pajak juga bisa menjadi salah satu bagian kecil dari perencanaan cashflow, misalnya dengan menerbitkan faktur pajak pada awal bulan. Sebagai contoh, jika PT A menerbitkan invoice + faktur pajak pada tanggal 1 Februari 2025 sebesar Rp1.110.000.000, maka PPN senilai Rp110.000.000 bisa disetorkan oleh PT A ke kas negara di tanggal 15 Maret 2025. Artinya, ada 'fresh cash' sebesar Rp110.000.000 selama 44 hari untuk PT A.

Jadi, siap mengukuhkan perusahaannya menjadi PKP?

Kira-kira begitu.

Punya masalah perpajakan? Konsultasi Sekarang!